Wednesday, May 30, 2012

Burung Elang Terbang Sendirian

 

Terlalu banyak kisah heroik menjelang dan pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Jalannya revolusi, penuh riak gelombang. Panas-dingin suhu politik. Naik-turun irama pergerakan. Jalinan hubungan antara sang pemimpin dengan yang dipimpin, tak urung mengalami pasang dan surut.

Bung Karno tak pernah sepi dari kontroversi. Lihat sejarah Romusha. Tengok sejarah pembentukan PETA. Tidak semua langkah Sukarno didukung semua elemen perjuangan. Beberapa pemuda bahkan menentang keras, mengecam, bahkan mengutuk Sukarno yang mereka tuding sebagai “kolaborator”. Benar. Sikap Sukarno yang mau bekerja sama dengan Jepang untuk beberapa hal, dinilai keblinger, dan melenceng dari cita-cita menuju Indonesia merdeka.


Persoalannya, seperti yang Bung Karno keluhkan kepada Cindy Adams, penulis biografinya, bahwa ia tidak mungkin keliling Indonesia, mendatangi satu per satu orang dan menjelaskan semua langkah dan keputusannya. Termasuk yang cap terhadapnya sebagai kolabortor Jepang. Bung Karno hanya punya keyakinan. Bung Karno hanya punya perhitungan. Bung Karno hanya punya ego yang sangat kuat.


Alhasil, ketika tahun 1943 Jepang mendirikan PETA, Bung Karno sendiri yang memilihkan pemuda-pemuda cakap untuk menjadi anggotanya, satu di antaranya Gatot Mangkupraja, pemberontak PNI yang senasib dengan Bung Karno ketika dijebloskan ke penjara Sukamiskin tahn 1929. Sikap Bung Karno didasari perhitungan, dengan menjadi anggota PETA, maka para prajurit muda asli putra bangsa, akan mendapat pelajaran-pelajaran penting tentang dasar-dasar kemiliteran, ilmu berperang, strategi bertempur, dan penguasaan peralatan perang modern.






Sementara, sekelompok muda yang progresif menentang bergabung dengan PETA, bahkan mengutuk Sukarno yang mendukung PETA, demi membantu Jepang melawan Sekutu. Itu pula yang diucapkan seorang dokter muda yang merawat Bung Karno di rumah sakit, sekitar tahun 1943. Katanya, “Banyak orang mengatakan, dengan memasuki tentara (PETA) yang didirikan oleh Jepang hanya berarti kita akan membantu Jepang saja.”


Bung Karno marah dan menukas, “Itulah pandangan yang dangkal. Orang yang berpikir demikian, tidak bisa melihat jangka yang lebih jauh ke depan. Tujuan yang pokok adalah melengkapi alat perjuangan bagi kemerdekaan. Tidak ada maksud lain daripada itu.”


Dokter itu membantah, “Tapi ingatlah bahwa Jepang datang kemari untuk menjajah. Dia itu musuh. Bertempur di samping mereka berarti membantu Fasisme!”
Bung Karno menjawab, “Kukatakan, pendirian yang demikian itu terlalu picik. Tapi, baiklah, Jepang itu datang kemari untuk menjajah dan harus diterjang keluar. Akan tetapi ingat, bahwa mereka adalah penjajah yang bisa diperalat. Saya membantu pembentukan PETA — ya! Tapi bukan untuk mereka! Tidakkah dokter memahaminya? Untuk kita! Untuk engkau! Untukku! Untuk Tanah Air kita! Atau, apakah dokter tetap mau menjadi orang jajahan sampai hari kiamat?


Dokter itu belum puas, dan terus berbantah dengan Sukarno, “Rakyat menyatakan tentang Bung Karno, bahwa……..”


“Rakyat tidak mengatakan apa-apa!” Bung Karno memotong kalimat dokter. “Jikalau mereka yakin, bahwa saya tidak menempuh jalan yang paling baik, tentu rakyat tidak akan mengikuti saya, bukan? Coba, apakah memang rakyat tidak mengikuti saya?”


“Tidak.”


“Bukankah mereka mengikuti saya?”


“Ya, seratus persen.”


“Jadi, rakyat tidak mengatakan apa-apa. Hanya beberapa pemuda yang kepala panas saja yang mengatakan….”


“Bahwa Bung Karno bekerja sama dengan musuh,” dokter melengkapi kalimat Bung Karno.


Tapi toh, dialog itu tidak bisa meredam para pemuda yang disebut Bung Karno kepala panas. Makanya, Bung Karno pada waktu-waktu itu, masih sering menjumpai secarik kertas berisi surat kaleng yang diselipkan di bawah pintu. Salah satu dari surat itu menyebutkan, “Karena kami dipimpin oleh seseorang yang bersemangat tikus, kami tidak berani berjuang. Akan tetapi jika kami dipimpin oleh seseorang yang bersemangat banteng, kami akan bertempur mati-matian.”

Atas kejadian itu, Bung Karno hanya bergumam, “Ah… ini hari yang jelek.” Hati Sukarno benar-benar sedih. Dalam keadaan tertekan seperti itu, satu kalimat yang bisa membuatnya tenang kembali, “Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian.”

Sumber