Untuk
mencapai Wamena, pengunjung dari luar Papua harus transit dulu di
Bandara Sentani, Jayapura. Dari Sentani, kita harus menggunakan pesawat
udara lagi. Sebab, sampai saat ini jalur udara itulah satu-satunya cara
yang bisa ditempuh untuk mencapai Wamena.
Tiket
pesawat Jayapura-Wamena Rp 880 ribu per orang. Tidak terlalu mahal,
mungkin. Tapi, mendapatkannya tidak mudah. Maklum, pesawat yang
tersedia terbatas.
Setelah
dapat tiket pun, belum bisa dipastikan kita akan sampai di Wamena.
Masih ada penentu lain. Cuaca. Untuk mencapai Wamena, pesawat harus
melalui celah di antara dua bukit. “Bila cuaca sedang tidak bagus
sehingga celah itu berkabut, pesawat biasanya kembali ke Bandara
Sentani,” tutur seorang calon penumpang di Bandara Sentani.
Mendebarkan? Mereka yang gemar bertualang mungkin menganggapnya
mengasyikkan.
Tiba di Bandara Wamena, tinggal pilih, mau langsung ke perkampungan tempat mumi berada atau beristirahat dulu.
Bila
mau langsung menuju lokasi, kita bisa memanfaatkan jasa taksi bandara.
Tarifnya Rp 100 ribu per jam atau Rp 800 ribu per hari. Bila pengunjung
ingin beristrahat dulu, di sekitar Bandara ada hotel dan penginapan.
Tarif terendah Rp 250 ribu per hari.
Perkampungan
mumi di Distrik Kurulu, Jaya Wijaya, berjarak sekitar 30 kilometer atau
25 menit perjalanan dari Kota Wamena. Sepanjang perjalanan, mata seolah
dimanjakan dengan pemandangan alam terbuka yang berbukit-bukit dan
menawan.
Lalu,
wow! Sekitar 15 menit perjalanan, menjelang memasuki desa tempat mumi
berada, di kiri jalan tampak bukit dengan hamparan putih di
sekelilingnya. Salju? Bukan. Hamparan putih itu pasir. Tapi, memang,
pasir itu terlihat putih sekali.
Setelah
25 menit perjalanan, sampailah kita tiba di kampung mumi. Perkampungan
itu dihuni 20 kepala keluarga. Di bagian depan perkampungan ada pintu
masuk yang hanya dibuka saat ada tamu.
Begitu
kami masuk halaman perkampungan, mereka langsung menyambut kami dengan
ramah. Yang perempuan mengenakan sali (rok dari kulit kayu), sedangkan
yang laki-laki memakai koteka. Kesan primitif sangat terasa. Namun, ada
yang bilang bahwa mereka sebetulnya sudah berkain seperti kita
sehari-hari. “Tapi, mereka langsung buka baju begitu tahu ada
pengunjung,” kata seorang teman yang asli Wamena.
Lingkungan
di perkampungan itu juga masih terkesan alami. Di kiri kanan tampak
honai, rumah tempat warga tinggal. Di salah satu honai itulah mumi Wim
Motok Mabel disimpan.
Mau
melihat mumi? Boleh. Tapi, harus nego dulu sebelum mereka mau
mengeluarkan mumi tersebut dari honai. “Ada tarifnya. Biasanya
pengunjung harus bayar Rp 25 ribu. Katanya sih untuk biaya perawatan,”
kata teman tadi.
Menurut
Batu Logo, salah seorang warga yang tinggal di perkampungan tersebut,
Mumi Wim Motok Mabel adalah generasi ketujuh. Usianya saat ini 368
tahun. “Dia (Wim Motok Mabel, Red) adalah kepala suku perang. Menurut
cerita orang tua kami, sebelum meninggal beliau berpesan agar mayatnya
tidak dibakar. Beliau minta mayatnya diawetkan agar jasadnya bisa
dilihat generasi berikutnya,” kata Batu Logo.
Meski
telah berusia 368 tahun, sebagian bentuk tubuh mumi itu masih sangat
jelas. Terutama kepala, badan, dan kaki. Bahkan, kotekanya pun masih
terlihat. “Untuk menjaga agar tidak rusak termakan usia, mumi itu
dirawat secara tradisional dengan pengasapan dan pengolesan lemak babi
ke seluruh tubuh mumi,” terang Batu Logo.
Mau
berfoto bersama Mumi, bisa. Tapi, lagi-lagi ada tarifnya. Bahkan,
berfoto dengan warga setempat yang mengenakan pakaian tradisional pun,
kita harus bayar. “Seorang Rp 5 ribu untuk sekali jepretan,” kata Batu
Logo.
Sumber